Ali Formen

Just another WordPress.com weblog

Zainal, Penyair dan Dai itu Tiada

Black SwanAda kabar duka yang kemarin saya terima, terima. K.H. Zainal Arifn Thoha, atau Kang Zainal, atau Gus Zainal, Rabu 14 Maret malam waktu Yogya, wafat. mohon keihlasan teman-teman, sekadar kirim doa. Dia masih terlalu muda, sekitar 36/7an tahun usianya. Tapi kiprah kebudayaannya luar biasa. Penyair Jhoni Aryadinata, kalau saya tak keliru sebut pernah menggelarinya secara seloroh sebagai Presiden Kuburan.

Almarhum adalah lulusan Fak. Dakwah IAIN Sukijo, Yogyakarta aktif sebagai muballigh, dosen muda, sekaligus penyair. Beberapa tahun terakhir ini beliau mengontrak rumah, di depan kediamannnya di Krapyak, untuk dijadikan pesantren dan unit usaha yang menyokong pesantrennya.

Almarhum dikenal debagai pribadi yang mandiri dan keras. Selama menempuh S-1 hanya beberapa bulan saja dia meminta kiriman uang bulanan dari orangtuanya, K. Thoha dari Kediri. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dia mencari uang dengan menulis di koran. Ini pula yang dia tekankan pada santri-santrinya, mandiri salah satunya dengan menulis di koran.

Salah satu karya Gus Zainal, kebetulan saya yang mengedit sebelum terbit, adalah kumpulan artikel yang lantas diberi judul “Runtuhnya Singgsana Kiai”; dan “Jagadnya Gus Dur”. Sudah hampir dua tahun saya diminta menerjemahkan novel Amin Malouf, “Samarkand”, dan sampai sekarang belum rampung.

Tema umum tulisan Gus Zainal adalah budaya pesantren dan Islamic Studies. Minat ini pula yang agaknya mendorongnya dan beberapa kawannya yang penyair-sastrawan-NU menggelar Kongres Kebudayaan Pesantren tahun 1998-an di PP Sunan Pandanaran, Yogyakarta.

Gus Zainal juga dipercaya mendalami hikmah. Banyak orang datang berkonsultasi tentang macampmacam, dari sakit erut putus pacar, kehilangan beberaha hal lain. konkow-kongkow di rumah dia adalah paragraf paling awal skripsi saya.

Beliau sangat konsern dengan tema tasawuf. tema ini yang sering dia bawakan di tulisan maupun saat siaran di sebuah radio di Bantul, di RRI jogja dan beberapa stasiun radio lain. Tahun 2002-an beliau dan saya gantian siaran live di Vedac FM, Yogyakarta. Dengan segala publisitas ini beliau tetap kawan yang baik, yang jujur mengaku kalau nggak punya duwit, yang jujur mengaku kalau punya hutang, yang jujur mengaku bingung kalau ada pengemis datang dan dia nggak punya recehan. Dengan publisitas ini pula, dia pernah mengaku jujur bahwa ekstase spiritualnya sering dia dapat dalam jamaah, meskipun jamaah tak selalu sepadan dengan publisitas.

Selain ustad penyair, dia bersahabat karib dengan Gus Mus dan D. Zawai Imran. Dia sendiri melihat kedua senior itu seperti Rumi dan Syamsi Tabriz. Sebagai penyair dan penulis, kalau tak keliru sebut, dia juga mendai pembina di Forum Lingkar Pena (FLP), meski dia punya frame yang tampak sedikit beda dengan mainstream FLP.

Tahun 1997 atas prakarsa dan bersama beliau saya mendirikan Jamaah Pengajian Selasanan di IKIP Yogyakarta. Pada saat bersamaan di IAIN Sukijo, berdiri pula Jampi Kemis (karena malem Kemis pengajiannya). Pengajian ini unik, karena isunya perkembangan spsiritual diri, PR bagi yang nagji salah satunya adalah bikin puisi. Pengajian ini sempat besar hingga melebar ke UII, dan pernah buat pentas seni bartajuk “Rindu Nabi Menemani Millenium Ketiga”. Sampai sekarang tinggal Jampes yang masih hidup, dan dari pengajian inilah kemudian niat mendirikan pesantren muncul, Pesantren Hasyim Asy’ari. Santrinya bermula sekitar 2 orang, itupun salah satunya anak Kebumen yang nekat ikut Mas Zeanal pulang ke Yogya setelah mengisi pelatihan di Purworejo.
sekarang santrinya sekitar 150an. Mas zainal mengajar kitab, istrinya, Mak Maya mengajar bahasa Inggris. Akhir pekan, hari ahad adalah workshop dan kuliah tamu. Workshop lebih banyak tentang kepenulisn, dan memang dengan cara inilah para santri mencari nafkah. seorang yang tulisannya dimuat akan menanggung hidup sesama santri secara gantian. Kuliah tamu biasanya diisi soal pengembangan dan pertumbuhan diri. Maklum santrinya banyak yang mengkonsumsi banyak -isme secara tak berimbang, sementara Zainal yakin bahwa Jihad-Ijtihad-Mujahadah yang dalam taksonomi psikologis adalah konasi-kognisi-emosi ini musti diisi ketiga-tiganya. Tiap kali saya ke Jogja atau ada tamu lain yang datang, selalu dibuatkan forum sejenis ini. Nikmat rasanya berkumpul dengan dahi-dahi muda berkerut dan mulut-mulut agressif santri-santri itu.

Selamat dari Gempa Yogya Mei 2006 lalu menurutnya adalah peringatan Allah yang terlalu jelas bagi Gus Zainal untuk lebih mendalami tasawuf. Alkisah sepulang dari Kediri beberapa selang beberapa hari setelah gempa, dia shalat Jumat di sebuah kompleks militer. Tak dia sangka si khatib yang militer itu menyampaikan khotbah bertema dzikrullah. Sepekan sebelumnya, tema serupa dia dengar dari khatib yang lain. Suara hati Zainal menyatakan bahwa saatnya dia harus lebih memperkuat sisi spiritual dalam dirinya. Sesampai di Yogya Zainal meminta pertimbangan Ibunya bila dia hendak mempelajari thariqah. Setelah itu dia sowan ke seorang kiai thariqah di Yogya, untuk minta baiat, namun disarankan ditunda hingga pekan berikutnya.

Banyak kawan dekat yang kurang sepakat dengan pikiran Zainal yang terlalu sering membawa-bawa neraka dalam ceramahnya. Imam Aziz dari LKiS, misalnya kurang sepakat dengan syair ciptaan Zainal yang salah satu baitnya kurang lebih mengisahkan malaikat kuburan yang “nggawa gada gedhene sak tugu”, atau syair lainnya. Tokh Zainal, bukanlah anak muda yang semata-mata asketik, dalam sebuah artikel pernah dia menulis dengan nada akademis-aktivis.
Katanya, “Bahwa kaum Muslimin atau Dunia Islam demikian memiliki posisi dalam sejarah peradaban dan kebudayaan dunia, hal itu tidak lain lantaran mereka memiliki andil atau kontribusi besar dalam bidang agama, filsafat (ilmu pengetahuan) dan seni. Dan kalau kita mau merenungkan secara kritis, maka ketiga-tiga hal itu sesungguhnya tak dapat dipisahkan — jika kaum Muslimin ingin kembali menempati kedudukan terhormat dalam peradaban dan kebudayaan dunia.”

Refleksi Zainal yang barangkali baik untuk kita renungkan adalah penilaiannya yang menyayangkan akan sikap kita yang masih suka membeda-bedakan yang agama dan yang umum. Sikap ini “tidak dikenal pada masa kejayaan peradaban dan kebudayaan Islam. Dimana para tokoh besar Muslim, sekaligus mereka adalah para jenius-ensiklopedis, dan bukan jenis ilmuan atau pakar yang bercorak spesialis-departementalistik. Salah satu kunci bagi kebangkitan Islam menurut Zainal adalah kerja keras, yang dia ingatkan lewat puisi Iqbal dalam salah satu artikelnya://[…]Gelombang yang tak kenal istirahat buru-buru menjawab, Aku ada karena aku bergerak, bila aku berhenti aku pun mati.

akhina,
seperti yang sudah-sudah
kapankah lagi
jampi-jampi
mantra-mantra
dan doa-doa perlawanan
kita baca
seperti pernah sembari menepuk dada
kita baca
di trotoar-trotoar
di mimbar-mimbar

akhina,
seperti yang sudah-sudah
kapankah lagi
kita menari saman
di ruangdepan rumahmu
nyanyikan lelaguan
mazmur-mazmur
kegembiraan
tak,
tak akan lagi
lantaran inihari
japa-mantra, doa-doa
mazmur
lelagu
semangu kuburan
oleh duka yang begitu ngilu

No comments yet»

Leave a comment